Figur kiai
sebagai tokoh sentral di sebuah pesantren erat kaitannya dengan kepemimpinan
yang dijalankan. Kiai merupakan salah satu dari lima unsur pokok berdirinya
suatu pesantren. Empat unsur pokok lainnya yaitu: pondokan, masjid, santri dan
pengajaran kitab kuning. Pesantren Darul Falah didirikan oleh KH. Ahmad Basyir
pada tahun 1970. KH. Ahmad Basyir merupakan guru dalam ajaran dalail khairat
yaitu, terapi spiritual dengan berperilaku prihatin dan bersahaja. Ciri khas
ajaran ini yaitu dengan cara berpuasa bertahun-tahun atau yang lebih dikenal
masyarakat dengan sebutan Puasa Dala’il.
Model
kepemimpinan KH. Ahmad Basyir cenderung kepada kepemimpinan kharismatik.
Kebesaran kharisma KH. Ahmad Basyir ini menjadikan kuatnya pengaruh kiai dan
keluarganya dalam setiap pengambilan keputusan dan peraturan yang berkaitan
dengan pesantren Darul Falah. Pengembangan pesantren Darul Falah sangat
dipengaruhi oleh peranan KH. Ahmad Basyir.
Pengembangan
di pesantren Darul Falah ini dapat dilihat pada sarana dan prasarana pesantren,
jumlah dan kegiatan santri, manajemen pesantren, dan sistem pendidikan di
pesantren. Dalam hal sarana dan prasarana, pesantren Darul Falah sudah
mengalami peningkatan dalam jumlah bangunan pesantren. Hal ini memiliki
pengaruh signifikan dalam jumlah santri Darul Falah. Mengenai sistem manajemen
di pesantren Darul Falah, KH. Ahmad Basyir masih merupakan figur sentral dan
semua kebijakan harus dikonsultasikan dan disetujui oleh kiai. Karena faktor
usia, dalam perkembangannya para putra KH. Ahmad Basyir dan santri dilibatkan
dalam teknis operasional pesantren.
Pengembangan
pesantren dapat dilihat juga di bidang pendidikan. Bentuk kegiatan pendidikan
di pesantren Darul Falah terdiri dari dua macam yaitu pendidikan kepesantrenan
sebagai pendidikan utama dan pendidikan formal. Pendidikan kepesantrenan
terdiri dari pengajian kitab, Takhassus an-Nasyri (tambahan pelajaran khusus)
dan Dirosah Shobah (sekolah pagi). Program Takhasuss untuk santri putra
dibentuk pada tahun 1993 dan untuk santri putri dibentuk pada tahun 1995.
Sedangkan Dirosah Shobah dibentuk pada tahun 2001. Pendidikan formal masuk di
pesantren Darul Falah sejak tahun 2003, dengan dibentuknya program kesetaraan.
Bentuk pendidikan formal di pesantren Darul Falah adalah Wajib Belajar
Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun dan Paket C setara SMA.
Pada umumnya kebesaran seorang
kiai sangat berhubungan dengan kebesaran pesantren yang diasuhnya. Semakin
besar pesantren yang dimiliki seorang kiai, semakin besar ke-kiai-annya, namun tidak
demikian yang terjadi di Kudus. Kondisi pesantren di Kudus tidak sebesar
pesantren-pesantren di Jawa Timur. Jumlah pesantren di Kudus sampai saat ini
mencapai puluhan pesantren, namun yang terbesar ada tiga, yakni Pondok Tahfidz
Yanbu’ul Qur’an (PTYQ), Pondok Pesantren Darul Falah Jekulo dan Pondok
Pesantren al-Muayyad Kudus. Pesantren yang pertama memiliki lebih kurang 900
santri dengan fokus pembelajaran menghafal al-Qur’an dan pesantren ke dua
memiliki lebih kurang 600 santri dengan pembelajaran ilmu-ilmu syariah dan
dalail al-khairot, dan pesantren ke tiga memiliki santri sekitar 600 orang.
Pesantren-pesantren yang lain memiliki santri lebih kurang 100 orang.
Salah
satu pondok pesantren besar di Kabupaten Kudus adalah pondok pesantren Darul Falah.
Pesantren salaf yang terkenal dengan Thariqah Dalail al-Khairat ini
berlokasi di Desa Jekulo, Kecamatan
Jekulo, Kudus. Wilayah Kecamatan Jekulo termasuk dalam wilayah “Kudus Wetan”.
Pondok pesantren yang didirikan oleh KH Ahmad Basyir pada tahun 1970 ini
memegang teguh ajaran Dalail al-Khairat dengan ciri khas puasa bertahun-tahun.
Pondok pesantren Darul Falah memiliki motto “Njiret Weteng, Nyengkal Mata” yang
memiliki makna ''Masa muda bersusah payah, maka pada saat tua akan menemukan
kesuksesan. Sengsara itu berati berani lapar, berani bangun tengah malam, dalam
artian untuk belajar.'' Motto kalimat ini bersumber dari petuah Sunan Kalijogo
dalam salah satu Kitab Jawa yang menyerukan para santrinya untuk berperilaku
prihatin dan bersahaja (tidak mementingkan kenikmatan lahiriah). Ajaran
tersebut menjadi salah satu dasar dari ajaran Dalail al-Khairat yang
dikembangkan di pesantren Darul Falah. Dalail al-Khairat adalah salah satu ijazah
dengan ciri khas puasa bertahun-tahun, yang di kalangan masyarakat awam dikenal
dengan sebutan puasa dalail. Ijazah Dalail al-Khairat ini pula yang menjadi
ciri khas Pesantren Darul Falah.
Santri-santri yang belajar di
Pesantren Darul Falah ini berasal dari berbagai daerah, yaitu: Kudus, Jepara,
Demak, Kendal, Cirebon, Jakarta, Tangerang, Banten, dan sejumlah kota di
Sumatera. Pesantren Darul Falah menerapkan metode pembelajaran perpaduan antara
sistem tradisional dan sistem modern. Penggunaan sistem tradisional,
berlangsung pada proses pengkajian kitab salaf dengan cara bandongan dan
sorogan. Metode modern diadopsi dengan adanya pengelompokan santri sesuai
dengan tingkat kemampuannya.
Dalam perkembangannya pada tahun 2004 untuk
memudahkan pengelolaan, kepengurusan pondok pesantren dipecah menjadi empat,
yakni Darul Falah I, II, III, dan IV. Darul Falah I dan II diperuntukan bagi
santri putra, sedangkan Darul Falah III dan IV untuk santri putri. Kegiatan
belajar para santri terdiri atas kegiatan harian, mingguan, dan selapanan atau
bulanan. Kegiatan harian meliputi program tahfidh Alquran untuk santri putri,
jamaah shalat, tadarus, kajian kitab sekolah pagi, musyawarah wajib, musyafahah
Alquran, takhashshush An-Nasyri dan diakhiri qiyam al-lail.
Salah satu jargon yang sangat saya
ingat dan angen-angen ketika nyantri pada KH. Basyir (Mbah Kung) adalah petuah
beliau yakni “dadi santri iku kudu sabar, ngalah, nrimo, loman”. Bagi para
santri jargon tersebut memiliki nilai filosofis yang sangat dalam mengingat
tirakat dan riyadhah yang sehari-harinya mereka alami di ponpes Darul Falah
ini.
0 komentar:
Posting Komentar